Langsung ke konten utama

Jejak-Jejak Doa

 "Malah si adek lebih aman di perut ibunya kalau kondisinya begini," kata dr. Ratih.

Di usia kandungan 22 minggu, tepatnya 16 Oktober 2020, dr. Ratih, SpOG. (dokter kandungan rutin kami) menemukan suatu kejanggalan pada ukuran jantung janin kami. Memang, di usia kandungan 22 minggu inilah waktu yang tepat untuk melakukan skrining organ janin. Di situ akan dilihat, apakah ada kelainan pada janin, seperti down syndrome (DS), celah bibir (sumbing), kelainan jantung, jumlah jari, dll.

Balik lagi ke hasil skrining anak kami. Beliau, dr. Ratih, melihat bahwa jantung si adek dalam kandungan ini lebih besar daripada ukuran umumnya. 

"Saya melihat ukuran jantung si adek lebih besar daripada umumnya. Terlihat ya jantung si adek hampir memenuhi rongga dadanya. Normalnya, ukuran jantung itu setengah dari ukuran rongga dada. Ruang jantungnya ini terlihat 3 ruang saja. Normalnya kita punya 4 ruang jantung: serambi kanan, serambi kiri, bilik kanan, dan bilik kiri. Saya menyebut ini cardiomegaly ya. Ukuran jantung yang besar ini disebabkan kerja jantung yang lebih berat daripada harusnya. Mungkin karena hanya punya tiga ruang ini ya," jelas dr. Ratih.

"Tapi, saya butuh second opinion. Bisa saja, ukuran ini bisa menjadi lebih terlihat normal seiring perkembangan ukuran rongga dadanya. Saya menyarankan bapak dan ibu segera cek feto maternal. Saya punya beberapa kenalan dokter yang ahli feto maternal. Ada dr. Astri di Siloam TB Simatupang. Ada juga dr. Bambang Karsono. dr. Bambang ini juga sudah terkenal se-Asia Tenggara. Silakan, bapak ibu mau cek ke siapa ya. Saya akan menuliskan surat rujukan."

Setelah mendengar penjelasan dr. Ratih dan selesai dengan segala konsultasinya, kami akhirnya pamit keluar ruangan.

Tanpa berlama-lama, sepulang dari dr. Ratih (RS Puri Cinere), kami langsung ke RS Siloam TB Simatupang. Membuat janji dengan dr. Astri untuk cek feto maternal. Kami dapat jadwal di hari Senin, 19 Oktober 2020 (3 hari lagi).

Di perjalanan pulang, kami hanya bisa diam (sampai pada kalimat ini, mata saya berkaca-kaca menulisnya).

Sampai di rumah, istri saya, Yaya, menangis.

"Dia bergerak aktif di sini, kang," katanya sambil mengelus perutnya.


***

Tibalah hari Senin. Tepat pukul 15.45 kami sudah siap di depan poli dr. Astri, menunggu dipanggil.

Setelah kurang lebih sejam menunggu, kami akhirnya dipanggil. Dilakukanlah pengecekan USG Feto Maternal. Sekitar 10 menit, dr. Astri hanya diam, tidak menjelaskan apapun pada kami, walau tangannya bergerak menggeser-geser alat USG-nya. Selama 10 menit itulah, kami menunggu kejelasan. Bagaimana keadaan anak kami sebenarnya. 

Di USG, memang terlihat, ruang jantung anak kami hanya tiga dan ukurannya memenuhi rongga dadanya. Tapi, kami masih berharap dan berpikir, bisa saja tampilan tiga ruang itu adalah normal. Tiada kekurangan suatu apapun.

Hingga pada akhirnya...

"Nampak cuma punya tiga ruang ya, pak, bu," jelas dr. Astri.

"Semuanya terlihat normal, ya. Bibirnya, jarinya, wajahnya," tambah dr. Astri.

Lalu kami melihat wajah anak kami dalam bentuk gambar 3D USG.

Setelah pengecekan USG Feto Maternal selesai dilakukan, kami berdua, saya dan istri, dipersilakan duduk.

dr. Astri menjelaskan bahwa anak kami suspect single ventrikel. Biliknya hanya satu. Sehingga ini membuat jantung bekerja keras dan membesar. Dokter juga menjelaskan bahwa ini bisa saja single ventrikel ataupun bisa saja si adek punya 4 ruang jantung, hanya saja ada masalah di bagian biliknya.

"Saya juga menyarankan, ada pengecekan USG janin yang lebih detail lagi. Namanya Fetal Echo. Di Indonesia, jarang yang punya keahlian ini. Kita perlu tahu bagaimana jelasnya kondisi bayi ini agar para dokter juga tahu bagaimana harusnya penanganan pasca kelahirannya. Apakah perlu ditanganin langsung (jika parah) atau apakah setelah beberapa hari setelah lahir baru bisa ditanganin atau operasi (jika tidak terlalu parah). Saya punya teman untuk pengecekan Fetal Echo ini, beliau dr. Oktavia di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJN Harkit). Saya telepon beliau dulu, ya."

Lalu dr. Astri benar menelepon dr. Oktavia dan menjelaskan bahwa kami akan ke sana.

"Beliau jadwalnya di hari Selasa dan Kamis. Bisa menggunakan BPJS," kata dr. Astri.

Hari itu, Yaya semakin sedih. Sedangkan saya bingung. Saya harus menguatkan bahwa insyaa Allah kita akan mendapatkan penjelasan yang lebih baik di PJN Harkit nanti. Saya mencoba menguatkan diri sendiri dan Yaya dengan menjelaskan bahwa dr. Astri tadi mengatakan bahwa ini hanya "suspect". Belum terbukti. Dan bisa saja, seiring pertumbuhan si adek, jantungnya akan terbentuk sempurna.


***

Setelah pengecekan feto maternal, Yaya mencoba mencari-cari di internet mengenai kelainan jantung ini, yaitu single ventrikel. Single ventrikel itu kelainan jantung yang paling parah dibanding kemungkinan yang kedua, yaitu punya 4 ruang jantung tapi ada masalah di salah satu ruangnya. Jika single ventrikel, maka ini tingkat keberhasilan penanganannya lebih kecil dibanding yang kemungkinan kedua. Sementara untuk kemungkinan yang kedua, banyak case (terutama di luar negeri), anak dengan kondisi salah satu ruang jantungnya bermasalah (tapi tetap punya 4 ruang jantung), itu bisa tumbuh dewasa dan hidup normal.


***

Untuk melakukan pengecekan Fetal Echo di PJN Harkit, kami berencana untuk menggunakan BPJS, sehingga kami perlu mengurusnya dengan mengikuti jalur rujukan mulai dari Faskes Tingkat I (Puskesmas/Klinik).

Kamis, tanggal 22 Oktober 2020, saya dan Yaya pergi ke Faskes Tingkat I BPJS-nya Yaya, yaitu Puskesmas Cempaka Putih (Cemput), Jakarta Pusat. Sampai di sana, kami ditanya apakah Yaya pernah berobat di sana atau baru pertama kali.

Ternyata, karena Yaya lagi hamil dan belum pernah berobat di Puskesmas Cemput, kami disuruh swab test di puskesmasnya. Lalu, menunggu hasilnya yang akan diberikan tahu melalui WhatsApp sekitar 2 hari ke depan. Mungkin swab test memang sudah jadi arahan pemerintah.

Maka, Yaya pun di-swab.

Ternyata besoknya, tepatnya di hari Jumat, 23 Oktober 2020, Yaya sudah dapat hasil swab test-nya. Melalui chat WhatsApp, petugas puskesmas memberi tahu bahwa -alhamdulillah- Yaya negatif Covid-19 dan bisa kembali ke Puskesmas di tanggal 27 Oktober 2020.

Begitulah, sampai di tanggal 27 Oktober 2020, kami ke Puskesmas Cemput dan berhasil mendapatkan rujukan ke Faskes Tingkat II di RSUD AL Mintoharjo. Beberapa hari kemudian, kami mencoba "iseng" pergi ke RSUD Mintoharjo di tanggal merah. Memang tutup. Kami memang tidak sabar untuk mendapatkan rujukan dari Mintoharjo ke PJN Harkit. Kami ingin segera mengetahui kejelasan keadaan anak kami. Hingga akhirnya, di tanggal 3 November 2020, kami mendapatkan rujukan dari RSUD Mintoharjo ke PJN Harkit.

Kembali "iseng", di hari Kamis, 5 November 2020, kami ke PJN Harkit. Menanyakan petugas di lobi bagaimana prosedur pendaftarannya dan bagaimana jadwal dr. Oktavia. Di hari itu, kami diberi tahu bahwa sebaiknya kami sudah datang ke PJN Harkit di jam 4 pagi karena memang biasanya yang ingin ke dr. Oktavia juga banyak dan ada kuotanya (mungkin tepatnya memang bukan kuota ya. lebih kepada penyesuaian ke jam kerja dan jumlah yang ingin periksa).

Sepulang dari PJN Harkit di tanggal 5 November 2020 itu kami berencana untuk menginap di hotel dekat PJN Harkit satu hari sebelum ke PJN Harkit nanti, sehingga bisa lebih mudah mobilisasinya dan mudah untuk datang jam 4 pagi.


***

Hingga pada akhirnya, di tanggal 10 November 2020 kami berhasil sampai pada depan poli dr. Oktavia. Kami melihat banyak anak-anak di sini. Kami baru sadar, ternyata memang banyak juga anak-anak yang membutuhkan pengecekan jantung.

Dari pagi jam 4 hingga jam 11, kami akhirnya dipersilakan masuk ke poli. Di sana, kami mendapatkan perawat saja. Perawatnya melakukan assessment kepada kami. Apakah ada keluhan, riwayat penyakit, dan bagaimana penjelasan yang kami dapatkan dari dokter lain sebelum sampai ke PJN Harkit. Setelah assessment dicatat oleh perawat, perawat menjelaskan bahwa untuk melakukan pemeriksaan Fetal Echo, harus bukan di jadwal dr. Oktavia karena Fetal Echo sendiri memerlukan waktu sekitar 2 jam. Dan akhirnya, kami diminta untuk datang lagi di hari Kamis, tanggal 12 November 2020. Itu bukan jadwal rutin dr. Oktavia di poli jantung BPJS. Tapi dr. Oktavia akan ke poli itu, khusus untuk melakukan pengecekan Fetal Echo kami.

Tiba di hari Rabu, 11 November 2020, kami kembali menginap di hotel untuk persiapan ke PJN Harkit di keesokan harinya (sampai pada kalimat ini, saya menjadi lebih sadar bahwa Yaya kuat sekali. Masyaa Allah, kuatnya. Mobilisasi berkali-kali ke rumah sakit dengan kandungan yang dibawanya).

Tiba di hari Kamis, 12 November 2020, siang hari, dr. Oktavia melakukan pengecekan USG Fetal Echo. Sangat lama sekali dr. Oktavia melakukan pengecekan. Saya hanya berdiri diam melihat gambaran USG-nya. Kadang muncul warna-warna, kadang hitam putih, kadang ada gelombangnya. Beberapa kali dr. Oktavia berceletuk:

"Ih si adek aktif sekali ya. Ayo, dek. Ke sini, dokter mau lihat."

Saya jadi teringat perkataan dr. Komang sewaktu kami melakukan pengecekan USG biasa di RSUD Mintoharjo: "si adek sangat aktif sekali pergerakannya, ya."

Tidak kurang dari 1 setengah jam pengecekan USG Fetal Echo, akhirnya semua selesai. Kami dipersilakan duduk. Dokter menjelaskan sambil memberikan coretan-coretan.

"Normalnya, kita punya 4 ruang jantung. Anak bapak dan ibu, punya 4 ruang jantung," jelas dr. Oktavia.

Mendengar ini, saya dan Yaya menjadi tau, berarti anak kami memiliki kondisi jantung yang tidak separah kasus single ventrikel.

"Tapi ada kebocoran di bagian bilik. Terlihat tadi, aliran darahnya tumpang tindih. Lalu, aliran darah menuju paru-paru juga ada masalah. Ada penyempitan di situ. Sehingga, hampir bisa dipastikan kondisi anak bapak dan ibu nanti membiru. Setelah ini, kita perlu cek lagi ya. Dan bapak ibu sudah harus mulai kontrol di rumah sakit sebelah (yaitu RSAB Harapan Kita). Karena ketika lahir nanti, ada beberapa dokter yang akan menangani. Ibu bisa dipastikan, harus lahiran di RSAB Harapan Kita agar bisa cepat penanganannya ke PJN Harkit. Karena di sini, alat kita lengkap," jelas dr. Oktavia.

"Saya perlu melakukan pengecekan lagi di usia kandungan 30 minggu. Sekitar pertengahan bulan desember ya," tambah dr. Oktavia.

Berarti kami datang lagi cek Fetal Echo, sekitar tanggal 14 Desember 2020.


***

Senin, 14 Desember 2020, kami konsultasi ke dr. Ratih (RS Puri Cinere).

"Air ketubannya banyak, ya. Sudah mulai kontrol di RSAB Harapan Kita, bapak ibu?" kata dr. Ratih sambil mengecek USG.

"Belum. Kita mau proses BPJS untuk kontrol ke RSAB Harapan Kita. Nanti rujukannya setelah dari PJN Harapan Kita," jelas Yaya.

"Saya melihat, dengan kondisi air ketuban yang banyak ini, bapak ibu harus segera kontrol ke RSAB. Saya pikir, untuk sekali ini, jangan pakai BPJS dulu. Saya sangat menyarankan, minggu ini harus sudah ke sana ya. Ini fisik perut ibunya sudah seperti hamil 9 bulan. Sewaktu-waktu bisa saja akan segera melahirkan (walau usianya baru 7 bulan kehamilan)," dr. Ratih menjelaskan.


***

Selasa, 15 Desember 2020, Yaya mulai mengeluh merasakan kontraksi. Yaya masih menilai bahwa itu bisa saja "kontraksi palsu".

Rabu, 16 Desember 2020, kontraksinya sedikit bertambah.

Kamis, 17 Desember 2020, Yaya merasakan kontraksi. Saya yang baru saja selesai dengan urusan kantor via online, langsung berkata: "Yuk, neng. Kita ke RSAB cek yuk."

Memesan taxi online, kami berangkat ke RSAB. Di perjalanan, Yaya tidak terlalu mengeluh sakit. Terkadang, dia meremas tanganku. Di perjalanan, pikiranku juga terbagi. Antara mengingat apa yang baru saja terjadi pada urusan kantor via online tadi dengan memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya di rumah sakit.

Sampai di RSAB, Yaya dibawa ke IGD dengan menggunakan kursi roda. Setelah dilakukan pengecekan dan urusan lainnya (sekitar 2,5 jam setelah baru saja tiba di RSAB), Yaya dinyatakan harus dirawat di RSAB, sekitar paling lama 2 malam, sudah bisa pulang.

Entahlah, mendengarnya, hatiku sedikit lega. Saya sendiri belum siap dengan keadaan jika Yaya harus melahirkan minggu ini. Saya dan Yaya sama-sama masih memikirkan, setidaknya paling cepat melahirkan itu di pertengahan Januari (usia 35 minggu). Kami sudah berencana akan menginap di sekitar RSAB selama sebulan menjelang kelahiran.

Jumat pagi, 18 Desember 2020, Yaya diperiksa oleh dokter kandungan RSAB Harapan Kita, dr. Novan. Beliau mengatakan, tidak ada kelainan seperti down syndrome, celah bibir. 

Sorenya, Yaya mengalami pecah ketuban. Para perawat melaporkan hal ini ke dokter. Hingga pada akhirnya, perawat mengatakan bahwa besok dilakukan operasi caesar. Pelaksanaan operasi dilakukan sekitar jam 12 siang.

Sampai pada cerita ini, mengingatnya hati saya terasa sesak. Yaya sangat kuat sekali.

Ba'da isya, perawat datang lagi ke ruangan bahwa operasi dimajuin, menjadi jam 6 pagi dan kami harus mempersiapkan gurita untuk si ibu habis operasi.

Mengingat kami tanpa persiapan ke sini, kami bingung mencari gurita di mana. Jalanan di depan rumah sakit adalah jalan raya besar dan tol dalam kota. Sulit menemukan toko, apalagi malam-malam begini.

Saya lalu teringat teman kerja, Mas Herdi dan Mbak Nuril. Saya meneleponnya dan alhamdulillah, bisa dikirimkan via Gosend dari Cinere ke RSAB (jaraknya lumayan jauh). Saya berterima kasih pada beliau berdua.

Saya kemudian mencoba menelepon Bulik yang ada di Parung, Bojonggede. Bulik tadinya bingung mau cari dimana. Dan di telepon yang kedua, bulik mengatakan guritanya akan dikirimkan. Saya gak tau, akhirnya beliau dapat dari mana.


***

Sabtu, 19 Desember 2020, setelah shalat subuh, Yaya dibawa ke ruang operasi. Saat di perjalanan menuju ruang operasi, saya merasa tegang dan khawatir sekali. Semendadak ini.

Saya disuruh tunggu di luar. Di luar ruang operasi, saya duduk sendirian. Tidak ada orang lain di rumah sakit sepagi ini. Di masa pandemi, juga tidak boleh ada kunjungan selain suami.

Sejam menunggu, akhirnya ada yang berteriak, "Bayi Nyonya Latifatul Khoiriyah".

Saya berdiri, dan melihat dua perawat sambil membawa kotak berjalan agak cepat. Sambil mendorong kotak itu dengan agak cepat, seorang perawat berkata sedikit berteriak,

"Pak, anaknya kondisinya kurang baik, ya. Badannya banyak memarnya, membiru. Ini kita segera bawa ke NICU, pak."

Saya panik sekali dan ketakutan. Saya melihat anak saya dalam kotak itu, badannya kecil sekali. Dan membiru. Saya tidak berani melihat secara detail. Saya mengikuti kedua perawat dan anak saya dari belakang.

Sampai di depan ruang NICU, saya disuruh tunggu di luar.

"Pak, tadi anaknya lahir jam 5.39 ya. Apa bapak sudah mempersiapkan popok dan tisu basah?" tanya perawatnya.

"Belum, sus. Soalnya kemarin memang tidak tahu akan melahirkan," jawabku.

"Baik, silakan tolong dibelikan. Di Harkit Mart ada, kalau sudah buka."

Dokter anak datang menghampir dan menjelaskan, "Pak, kondisi anaknya buruk sekali. Saya mau ngecek ke dalam ya."

Saya hanya diam.


***

Dalam kekalutan ini, saya pergi ke Harkit Mart membeli apa yang diperlukan. Selesai beli-beli, saya kembali ke depan Ruang NICU dan menyerahkan ke penjaga yang sudah menunggu di depan ruangan. Lalu, saya disuruh kembali menunggu di depan ruang operasi.

Setelah 15 menit menunggu di depan ruang operasi, saya dipanggil, disuruh masuk.

Begitu masuk, tenggorokan saya terasa kaku melihat keadaan Yaya habis operasi caesar. Dia lemas sekali. Diberi dan ditempelin peralatan rumah sakit yang belum pernah saya lihat Yaya seperti itu.

Saya duduk di sampingnya. Hanya diam memerhatikan Yaya, sampai sekitar 5 menit, Yaya membuka bibirnya.

Yaya berbicara lemas beberapa kalimat. Ada kalimat yang saya dengar, "Tadi dia gak nangis, kang."

Sekitar jam 10 pagi, Yaya dibawa ke ruang perawatan. Alhamdulillah, saya merasa sedikit tenang, ruangannya nyaman untuk Yaya beristirahat di sini.


***

Hingga sampai pada sore hari (masih hari Sabtu, tanggal 19 Desember 2020), saya dan Yaya masih berada di ruang rawat dan belum ada instruksi untuk mengunjungi anak kami di ruang NICU.

Lalu, sekitar jam 10 malam, telepon saya berdering. Saya yang baru saja bangun dari terlelap di sofa, segera mengangkat telepon.

"Dengan bapak Muhammad Ali? Ayah dari bayi Ny. Latifatul Khoiriyah?" kata suara di telepon.

"Iya," jawabku.

"Pak, bisa ke segera ke Ruang NICU sekarang, ya."

Saya ke sana.

Sampai di depan Ruang NICU, perawatnya berkata.

"Pak, tadi sudah dijelaskan oleh dokter kandungan dan dokter anaknya ya gimana kondisi bayinya?"

"Sudah."

"Si adek kondisinya sangat tidak baik ya Pak. Tapi, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk kebaikan si adek ya."

Saya diam.

"Sekarang, bapak bisa masuk ya. Silakan ganti baju itu, pakai faceshield-nya dan cuci tangan. Kita masuk melihat bayinya, ya."

Saya berjalan mendekati kotak tempat anak kami dirawat. Hingga sampai pada pandangan saya sangat jelas melihat detail kondisi bayi kami, saya tidak sanggup menahan tangis. Tangis yang pelan. Waktu itu, jalan mendekatinya saja saya pelan-pelan.

"Silakan diadzani ya pak. Tadi belum ya? Silakan didoakan juga, kita mengharapkan kondisi yang terbaik buat si adek ya."

Saya ingin mengadzani-nya. Saya menyentuhnya untuk pertama kali. Lembut sekali kulitnya. Badannya sangat mungil. Kecil. Lahir prematur 7 bulan.

Saya adzan di dekat si adek. Saat itu, saya ingin sekali memanggilnya Yafi. Sejak di kandungan, kami sudah sepakat akan menamakan si adek dengan Yafi Muhammad Azraqi.

Selesai semua, saya disuruh kembali ke ruang rawat dan handphone saya dalam keadaan siap ditelepon jika ada kondisi terbaru.

Sampai di ruang rawat, saya menjelaskan ke Yaya bahwa Yafi masih baik kondisinya. Dan sedang dilakukan yang terbaik buat Yafi. Kita disuruh siap untuk panggilan update kondisi terbaru.

Jam 12 malam, saya dipanggil lagi.

Sampai di NICU, dokter yang jaga di sana menjelaskan.

"Pak, ini kondisinya belum membaik dari yang kemarin. Sekarang saturasi oksigennya juga sangat rendah ya. Angka 26. Ini sebenarnya, bayinya kondisinya sekarang sedang sakaratul maut."

...

Saya disuruh kembali ke ruang rawat. Satu jam kemudian, tepatnya jam 1.06 saya ditelepon.

"Pak, innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Bayinya udah gak ada. Turut berduka cita ya, Pak. Wafatnya jam 1.05. Sekarang, bisa ke sini ya Pak."



***


Saya bersama petugas jenazah, menggiring anak kami ke ruang jenazah. Kami memilih untuk mengurus semuanya di sini. Memandikan dan yang lainnya. Saat proses memandikan dari awal hingga akhir, saya mengeluarkan air mata. Saya melihat wajah anak kami lekat-lekat. Kulitnya putih bersih di bagian yang tidak memar dan membiru.

Petugas jenazah bertanya akan dimakamkan di mana anak kami.

Saya menelepon ibuk yang sedang menunggu di rumah om di Parung (ibuk datang dari Jogja sore tadi). Dan setelah om mencoba komunikasi ke Pak RT sana, anak kami sulit dimakamkan di sana.

Saya pun mencoba menelepon mbak yang mengurus perumahan rumah kami. Mbaknya ternyata mengangkat teleponnya walau jam 2 pagi. Beliau juga berkata, sangat sulit sekali dimakamkan di sekitar perumahan. Karena dulu rumah lain, juga susah diizinkan.

Jika di Bogor dan Depok saja sulit diizinkan untuk dimakamkan, ibuk memberi opsi, dimakamkan di Jogja.

Saya langsung bertanya ke driver mobil jenazah. Bisa ke Jogja, dengan biaya sekian. Dan akhirnya, saya dan ibuk setuju untuk diberangkatkan ke Jogja nanti pagi, habis shalat subuh. Ibuk bersiap-siap dari Bogor ke RSAB, Jakarta Pusat.

Yaya sendiri?

Hingga dimakamkan, dia belum pernah melihat langsung anaknya sendiri dari dekat.

Yafi sudah dimakamkan di Jogja, Ahad, 20 Desember 2020, pukul 13.15


***

Tadinya, sebelum pemakaman, saya ingin menamakan anak kami "Muhammad Ibrahim".

"Neng, kita namakan anak kita Muhammad Ibrahim saja bagaimana? Dua nama nabi yang mulia? Sehingga nama Yafi Muhammad Azraqi insyaa Allah bisa buat anak kita selanjutnya jika Allah mengizinkan."

Beberapa detik kemudian, saya menyadari sesuatu.

Sejak di dalam kandungan, nama Yafi ini sering kami sebut saat mengobrol dengan Yafi saat masih di perut. Sehingga jika nanti akan diberikan ke anak berikutnya, itu akan mengingatkan kami ke anak kami yang pertama ini. Dan itu kurang baik.

"Eh, neng. Gak usah ya? Yafi Muhammad Azraqi aja ya?"

"Iya, kang. Khawatir nanti ngingetin kita terus ke anak pertama kita ini."


***

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kami, dosa kedua orang tua kami, dan anak kami.


***

dr. Ratih menemukan cardiomegaly di usia kandungan 22 minggu


Feto maternal, 19 Oktober 2020

Pengecekan feto maternal






Komentar

  1. Semoga Allah memberikan kekuatan dan ketabahan untukmu ya Ali dan Istri..

    Semoga menjadi tabungan amal baik untuk di akhirat nanti, aamiin yaa Allah..

    BalasHapus
  2. Ya Allah semoga mba yaya dan masnya sll diberikan kekuatan dan ketabahan serta adek yg Allah sayang akan menjadi amal baik nantinya. Aamiin ya Allah

    BalasHapus
  3. Stay strong Ali dan Istri. Insya Allah Yaya jadi simpanan di surga

    BalasHapus
  4. wah baru baca dan baru tahu kabarnya. Turut berduka cita Li, Semoga selalu diberikan yang terbaik untuk Ali dan Keluarga..

    BalasHapus

Posting Komentar