Langsung ke konten utama

Terombang-Ambing Menuju Sumbing III

Baca cerita sebelumnya:


"Sudah?" Wahyu angkat bicara saat semuanya pada sibuk menikmati keindahan alam-Nya.

"Yok..yok" Humaam bangkit berdiri menyandang tasnya. Sepertinya sudah sedikit puas menikmati keindahan malam-Nya.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Aku yang baru diberi senter pun disarankan untuk mengambil posisi tengah di antara rombongan kami.

Malam ini semakin dingin saja. Sarung tanganku basah dan berpasir. Celana kotor dan aku melihat temanku pun seperti itu. Basah dan kotor.

Dalam perjalanan yang agak sulit ini -jalanan tanah, sempit, agak mendaki, dengan rumput-rumput liar di sekitarnya dan pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan-, aku sering mendongak ke atas, melihat bintang-bintang yang berserakan. Berserakan tapi memiliki keindahan. Mirip dengan kamu (nah loh?).

Sudah pukul 00.02, masih belum menemukan tempat untuk mendirikan tenda. Ya, ternyata perkiraan aku, Wawa, dan Dikko yang mengatakan bahwa kita bakal sampai di tempat perkemahan jam 12 malam itu salah.

Masih merangkak, mendaki, dan menahan posisi. Aku mulai merasakan hembusan angin yang kencang dan menusuk. Kalau kamu kurus dan ringan, mungkin kamu bisa oleng dan jatuh ke jurang yang ada di sampingmu. Ya, ada jurang di samping kami merangkak.

***

"Nah, di sini kita tidur. Kita dirikan tenda di sini, ya," kata Wahyu.

Sekarang kami berada di tempat para pendaki -pada umumnya- mendirikan tenda. Daerahnya cenderung datar dan aku masih belum terlalu mengerti keadaan sekitar karena memang masih gelap. Juga dingin.

Kami mulai bergegas untuk bersiap-siap. Ada yang mendirikan tenda, ada yang mulai menyalakan kompor portable, ada yang menyiapkan makanan, ada juga yang nge-Path (baca: ngepet): update statoes doeloe.

Oke, yang terakhir itu bercanda.

Aku sendiri ikut membantu mendirikan tenda. Keahlianku dalam mendirikan tenda sudah teruji sejak esempe. Terbukti, setelah mendirikan tenda dua kali, aku dilarang ikut mendirikan tenda lagi. Waktu itu aku berpikir kalau itu artinya "Orang jago ndak usah ikut bekerja. Beri kesempatan ke orang yang belum mahir." Tapi, belakangan diketahui bahwa alasan sebenarnya biar tidak mengacaukan dan menambah kesusahan mereka yang lagi dirikan tenda*.

Tapi, malam ini. Malam yang penuh cekaman ini. Di malam yang gelap, dingin, dan penuh cinta ini, aku ikut dirikan tenda. Menutup aib yang sudah lama tetap tertutup.

"Wisshhh.. Baunya itu loh," kata Isna.

Aku juga ikut mengendus. Ya, tercium bau sedap. Seperti bau akhir bulan. Ya, benar. Bau indomie rebus.

"Entar kita makan bareng!" Aku mendengar orang yang memasak itu. Tapi, kurang tau siapa. Mungkin Yoki.

Selesai mendirikan tenda, kami dengan semangat-tapi-tetap-menjaga-kewibawaan, menghabisludeskandenganbiadab indomie yang terpajang di mangkok yang indah dan terang benderang itu. Indomie itu kami nodai secara giliran. Satu sendok, slurrpp... Aku sendiri, hanya makan satu sendok, lalu memilih masuk tenda untuk tidur.

Lima menit kemudian, aku tidak mendengar lagi suara peperangan orang makan. Sepertinya mereka sudah memasuki tenda.

Kami bawa dua tenda untuk 15 orang. Ya. Dua tenda. 15 orang.

"Kita bangun pas Subuh, ya..." Entah siapa yang berkata seperti itu. Aku tidak terlalu tahu. Tapi, kami meng-iya-kan.

***

Pagi kembali menari. Matahari mendekat, memberi cahaya. Semuanya atas kuasa-Nya. Aku melihat jam tanganku. Pukul 04.30. Tepat sekali. Entah kenapa aku bisa bangun di jam setengah lima tepat. Terasa dingin sekali pagi ini. Bahkan untuk bangun pun aku ragu. Mau lanjut tidur? Jelas tidak, sangat tidak nyaman tidur dalam kondisi yang dingin dan sempit dalam tenda ini.

Tapi, aku memilih untuk bangun. Keluar dari tenda, mengambil langkah yang hati-hati, khawatir menginjak tubuh-tubuh teman-temanku yang masih tidur. Entahlah. Mereka sebenarnya sedang tidur atau hanya sedang malas untuk bangun.

Di luar tenda, aku merasakan kebahagiaan. Bahagia lepas dari kesempitan. Bahagia juga karena ternyata kondisi tempat perkemahan kami seperti ini.
Terlihat Gunung Sindoro
Padahal yang kulihat tadi malam hanyalah gelap. Dan tidak tau tentang Gunung Sindoro yang di belakang.

*bercanda

Komentar