Motor kembali dijalankan. Kami menuju basecamp pendakian Gunung Sumbing.
Dalam perjalanan, aku sering memikirkan: Apa ini tidak terlalu berbahaya?
Tapi, aku masih belum menemukan korelasi antara (1) penentuan tujuan yang dadakan dengan (2) persiapannya yang sebenarnya sama, sama-sama ke gunung.
Sekitar 10 menit perjalanan naik motor, akhirnya kami sampai di basecamp pendakian Gunung Sumbing. Aku melihat jam tangan: pukul 17.30. Hari sudah gelap. Kabut juga udah muncul. Aku melihat banyak orang di sini, laki-laki dan perempuan. Wahyu mulai mengurus administrasinya. Sedangkan yang lain, mengurus parkiran motor: kunci motor tidak boleh dicabut.
Segalanya disiapkan. Menyusun letak barang dalam tas carrier juga cukup penting untuk dilakukan, mengingat medannya yang cukup terjal. Yang belum beli sarung tangan dan penutup kepala pergi ke toko terdekat buat beli. Kemudian shalat maghrib berjama'ah di masjid terdekat dan dijamak-qashar dengan shalat Isya.
Briefing sebentar, membagi jadwal menyalakan lampu senter, cek perlengkapan tim, dan do'a.
Segala persiapan selesai.
Sumbing...jadi...
BISMILLAH!!!
***
"Li, kita paling belakang, ya," kata Wawa padaku.
"Oce..." aku menjawab sambil membiarkan teman-teman yang lain berjalan terlebih dahulu untuk mengambil barisan paling belakang.
Hari sudah benar-benar gelap. Dingin? Belum. Kami masih berada di daerah pemukiman selama sekitar 15 menit. Setelah itu, kami memasuki daerah perkebunan.
Masuk di daerah perkebunan, kami mengambil jalan berbatu. Jalan ini masih bisa dilalui motor karena cukup lebar dan padat. Kami berjalan, cenderung membentuk barisan satu banjar.
"Hitung!!!" teriak Wahyu.
Semua meneriakkan angka sesuai urutan barisnya.
"Hempat bhelass!!!" teriakku. Tidak terlalu berteriak sebenarnya.
"Lengkap. Lima belas!" teriak Wawa. Tidak terlalu berteriak sebenarnya.
Intensitas bunyi dari teriakkan ini masih lebih kecil daripada suara Supri kala bercerita di sekre KMFM. Serius. Tapi, aku menyarankan kamu perlu berhati-hati sama Supri ini. Sabarnya benar-benar besar. Sangat penyabar. Calon suami idaman.
Masih di jalan berbatu dekat perkebunan, setelah cukup lama. Aku belum melihat tanda-tanda jalanan tanah, sempit, agak mendaki, dengan rumput-rumput liar di sekitarnya dan pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan.
Jalan berbatu ini rasanya sulit sekali. Terjal, tapi menerus, tidak seperti tangga alami.
Satu jam berlalu. Capek sekali. Wahyu mengintruksikan untuk istirahat sebentar. Sebagian temanku memilih untuk duduk. Aku memilih untuk tetap berdiri dan melepaskan tas carrierpunyaku pinjaman.
"Kita minumnya jangan berlebihan ya. Dibagi juga buat nanti, dan untuk turun dari puncak. Yak. Insyaa Allah kita ke puncak," kata Wahyu sedikit memecah keheningan malam.
Seseorang mengeluarkan gula merah, aku mengambil sepotong. Memakannya sedikit memulihkan energi.
Lima menit berlalu.
"Yok!" kata Humaam.
Semua bangkit, melanjutkan perjalanan.
"Kirah-kirah sampaih ke pos 3 (perkemahan), jam berapah yah?" tanyaku pada Wawa, mulai terasa dingin. Pelan sekali. Tapi, terdengar jelas.
"Kurang tahu tepatnya. Jam 12 (malam) mungkin," jawab Wawa. Dikko juga mengiyakan.
Ya, kami sama-sama tidak tahu. Seorangpun tak ada yang pernah ke sini. Aku kembali memikirkan: Apa ini tidak terlalu berbahaya?
Hampir dua jam berjalan, jalan berbatu ini belum juga menunjukkan ujungnya. Tiba-tiba...
"Alhamdulillah....!!!"
"Haaa.. alhamdulillah!!!"
"Akhirnya!"
Aku melihat ke depan. Tentu saja sambil mendongakkan kepala sedikit karena jalanan ini memang menaik. Aku melihat agak jauh di depan ada cahaya. Rumah? Bukan. Tidak mungkin rasanya.
"Kita istirahat di sana," kata Wahyu.
Apa itu?
"Itu pos 1," Wahyu berkata seolah menjawab pertanyaanku di dalam hati.
Bagai menemukan air di tengah gurun pasir, semangat untuk berjalan menuju fatamorgana meningkat, meski mengetahui diri ini kelelahan.
Kami sampai di Pos 1. Jadi, dalam jalur pendakian gunung, pada umumnya memiliki pos-pos yang jarak tiap pos bisa jadi 2 jam perjalanan.
"Berapa lama, Yu?" tanya Isna.
"15 menit. Kita istirahat 15 menit, ya. Haa....." Wahyu menjawab sambil menunjukkan dirinya juga kelelahan. Gila. Jalan berbatu tadi memang . . .
Aku melihat jam tangan: pukul 20.11. Aku melepaskan tas carrier dan tetap berdiri. Sebelumnya, aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa saat berhenti untuk istirahat, baiknya tetap berdiri agar tidak terlalu capek saat mendaki lagi. Setelah memikirkan perkataan seseorang tadi, aku duduk.
"5 menit lagi, ya," kata Wahyu.
Sisa lima menit ini aku gunakan untuk mengecek HP. Ada sinyal dan... ada sms juga. Tiga sms. Aku membuka inbox. Satu sms dari operator, satu dari teman sedepartemen, satu lagi dariMamah Emak. Aku kemudian membalas sms dari Emak yang kemarin sudah tahu rencanaku pergi ke Gunung Sindoro. Ah, ya. Aku lupa bilang ke Emak kalau kami ganti tujuan. Satu lagi, aku membalas sms dari teman sedepartemen, seadanya, karena sedang dalam keadaan safar.
"Nah, yok!" Suara Ipul terdengar menghilangkan suara nafas teman-teman yang lain.
Kami melanjutkan perjalanan.
Sekarang aku sudah tidak melihat jalan berbatu di depanku. Yang terlihat adalah jalanan tanah, sempit, agak mendaki, dengan rumput-rumput liar di sekitarnya dan pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan.
Sekitar 15 menit berjalan dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, kami mulai berjalan dengan lebih banyak merangkak, mendaki, dan berpegangan pada rumput dan pepohonan sekitar.
Masyaa Allah
Medannya cukup sulit. Jalanannya berupa pasir atau tanah yang sangat gembur. Terjal dan perlu mencengkram akar pohon yang mencuat ke atas atau batu yang ada di depan untuk berjalan.
"Aarrrgghhh!!!"
"Dik!"
"Hmmpptt.. Nggak apa," Dikko yang jatuh kembali bangkit.
Sekarang, kami berada di daerah yang benar-benar terjal, berpasir, licin, dan hampir tidak ada tempat berpegangan. Aku bahkan tetap dalam posisi merangkak selama 5 menitan di satu titik, dan belum berani melangkah lagi, karena khawatir jatuh ke bawah. Bawah yang kumaksud adalah belakangku sendiri, bukan sampingku.
Aku melihat yang lain sudah berhasil ke atas. Yang di belakangku menunggu aku untuk naik. Aku kemudian langsung mengambil langkah cepat. Merangkak lebih cepat, berpegangan pada pasir juga. Dua langkah maju, selangkah mundur.
Betapa nikmatnya kalau sekarang berada di kamar, tenang, dan istirahat sepuasnya.
Pikiran kotor.
Semuanya masih merangkak. Sudah 20 menit.
"Di sini!" aku mendengar temanku yang sudah di atas memberitahu sesuatu.
"Ya..ya.. di sini aja."
Sepertinya mereka menemukan tempat untuk beristirahat sebentar.
Aku dan Wawa masih di paling belakang. Dikko sudah di depan.
Hampir sampai di atas, Isna sedikit berteriak padaku.
"Li, lihat belakangmu!"
Apa? Ada apa di belakang?
Tak ambil pusing, aku langsung menoleh ke belakang. Sekarang sudah bisa berdiri tegak. Dan...
Aku diam. Lalu kemudian tersenyum sedikit. Aku melihat pemandangan kota jauh di bawah sana. Cahaya lampu-lampu perumahan membuat indah dari sini. Aku mendengar teman-temanku memuji Allah. Masyaa Allah, Subhanallah. Aku juga melihat ada pola lampu yang lurus, seperti tempat pesawat landing. Tapi, tidak mungkin. Bukan, itu bukan bandara. Tapi, apa itu? Entah kenapa, rasanya aku ingin mengirim sms pada orang yang ku sms tadi, menceritakan keindahan di sini. Tapi, buat apa? Bodoh. Bintang-bintang juga telihat sangat banyak di langit.
"Indah banget!" kata Diva sambil melihat langit malam.
"Indah? Sungguh?" aku meledek Diva yang berkata terlalu puitis.
Istirahat kali ini tidak hanya diisi dengan duduk atau berdiri diam, melainkan diisi dengan tasbih, dalam hati atau lisan.
#Bersambung
Jalan berbatu ini rasanya sulit sekali. Terjal, tapi menerus, tidak seperti tangga alami.
Satu jam berlalu. Capek sekali. Wahyu mengintruksikan untuk istirahat sebentar. Sebagian temanku memilih untuk duduk. Aku memilih untuk tetap berdiri dan melepaskan tas carrier
"Kita minumnya jangan berlebihan ya. Dibagi juga buat nanti, dan untuk turun dari puncak. Yak. Insyaa Allah kita ke puncak," kata Wahyu sedikit memecah keheningan malam.
Seseorang mengeluarkan gula merah, aku mengambil sepotong. Memakannya sedikit memulihkan energi.
Lima menit berlalu.
"Yok!" kata Humaam.
Semua bangkit, melanjutkan perjalanan.
"Kirah-kirah sampaih ke pos 3 (perkemahan), jam berapah yah?" tanyaku pada Wawa, mulai terasa dingin. Pelan sekali. Tapi, terdengar jelas.
"Kurang tahu tepatnya. Jam 12 (malam) mungkin," jawab Wawa. Dikko juga mengiyakan.
Ya, kami sama-sama tidak tahu. Seorangpun tak ada yang pernah ke sini. Aku kembali memikirkan: Apa ini tidak terlalu berbahaya?
Hampir dua jam berjalan, jalan berbatu ini belum juga menunjukkan ujungnya. Tiba-tiba...
"Alhamdulillah....!!!"
"Haaa.. alhamdulillah!!!"
"Akhirnya!"
Aku melihat ke depan. Tentu saja sambil mendongakkan kepala sedikit karena jalanan ini memang menaik. Aku melihat agak jauh di depan ada cahaya. Rumah? Bukan. Tidak mungkin rasanya.
"Kita istirahat di sana," kata Wahyu.
Apa itu?
"Itu pos 1," Wahyu berkata seolah menjawab pertanyaanku di dalam hati.
Bagai menemukan air di tengah gurun pasir, semangat untuk berjalan menuju fatamorgana meningkat, meski mengetahui diri ini kelelahan.
Kami sampai di Pos 1. Jadi, dalam jalur pendakian gunung, pada umumnya memiliki pos-pos yang jarak tiap pos bisa jadi 2 jam perjalanan.
"Berapa lama, Yu?" tanya Isna.
"15 menit. Kita istirahat 15 menit, ya. Haa....." Wahyu menjawab sambil menunjukkan dirinya juga kelelahan. Gila. Jalan berbatu tadi memang . . .
Aku melihat jam tangan: pukul 20.11. Aku melepaskan tas carrier dan tetap berdiri. Sebelumnya, aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa saat berhenti untuk istirahat, baiknya tetap berdiri agar tidak terlalu capek saat mendaki lagi. Setelah memikirkan perkataan seseorang tadi, aku duduk.
"5 menit lagi, ya," kata Wahyu.
Sisa lima menit ini aku gunakan untuk mengecek HP. Ada sinyal dan... ada sms juga. Tiga sms. Aku membuka inbox. Satu sms dari operator, satu dari teman sedepartemen, satu lagi dari
"Nah, yok!" Suara Ipul terdengar menghilangkan suara nafas teman-teman yang lain.
Kami melanjutkan perjalanan.
Sekarang aku sudah tidak melihat jalan berbatu di depanku. Yang terlihat adalah jalanan tanah, sempit, agak mendaki, dengan rumput-rumput liar di sekitarnya dan pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan.
Sekitar 15 menit berjalan dengan posisi tubuh sedikit membungkuk, kami mulai berjalan dengan lebih banyak merangkak, mendaki, dan berpegangan pada rumput dan pepohonan sekitar.
Masyaa Allah
Medannya cukup sulit. Jalanannya berupa pasir atau tanah yang sangat gembur. Terjal dan perlu mencengkram akar pohon yang mencuat ke atas atau batu yang ada di depan untuk berjalan.
"Aarrrgghhh!!!"
"Dik!"
"Hmmpptt.. Nggak apa," Dikko yang jatuh kembali bangkit.
Sekarang, kami berada di daerah yang benar-benar terjal, berpasir, licin, dan hampir tidak ada tempat berpegangan. Aku bahkan tetap dalam posisi merangkak selama 5 menitan di satu titik, dan belum berani melangkah lagi, karena khawatir jatuh ke bawah. Bawah yang kumaksud adalah belakangku sendiri, bukan sampingku.
Aku melihat yang lain sudah berhasil ke atas. Yang di belakangku menunggu aku untuk naik. Aku kemudian langsung mengambil langkah cepat. Merangkak lebih cepat, berpegangan pada pasir juga. Dua langkah maju, selangkah mundur.
Betapa nikmatnya kalau sekarang berada di kamar, tenang, dan istirahat sepuasnya.
Pikiran kotor.
Semuanya masih merangkak. Sudah 20 menit.
"Di sini!" aku mendengar temanku yang sudah di atas memberitahu sesuatu.
"Ya..ya.. di sini aja."
Sepertinya mereka menemukan tempat untuk beristirahat sebentar.
Aku dan Wawa masih di paling belakang. Dikko sudah di depan.
Hampir sampai di atas, Isna sedikit berteriak padaku.
"Li, lihat belakangmu!"
Apa? Ada apa di belakang?
Tak ambil pusing, aku langsung menoleh ke belakang. Sekarang sudah bisa berdiri tegak. Dan...
Aku diam. Lalu kemudian tersenyum sedikit. Aku melihat pemandangan kota jauh di bawah sana. Cahaya lampu-lampu perumahan membuat indah dari sini. Aku mendengar teman-temanku memuji Allah. Masyaa Allah, Subhanallah. Aku juga melihat ada pola lampu yang lurus, seperti tempat pesawat landing. Tapi, tidak mungkin. Bukan, itu bukan bandara. Tapi, apa itu? Entah kenapa, rasanya aku ingin mengirim sms pada orang yang ku sms tadi, menceritakan keindahan di sini. Tapi, buat apa? Bodoh. Bintang-bintang juga telihat sangat banyak di langit.
"Indah banget!" kata Diva sambil melihat langit malam.
"Indah? Sungguh?" aku meledek Diva yang berkata terlalu puitis.
Istirahat kali ini tidak hanya diisi dengan duduk atau berdiri diam, melainkan diisi dengan tasbih, dalam hati atau lisan.
Foto oleh Kesawa |
#Bersambung
Komentar
Posting Komentar