Langsung ke konten utama

Saat Air Berganti Menjadi Abu

Sekitar pukul 04.45 WIB, hari Jumat, 14 Februari 2014 waktu itu. Langit masih gelap, suasana masih sunyi. Aku kemudian keluar ruangan setelah berjam-jam ada di suatu ruangan. Tak ada yang aneh menurutku, untuk sesaat. Tapi kemudian, aku melihat tanah menjadi berwarna abu-abu.
"Ah, ini mungkin karena mataku masih belum sempurna untuk melihat (dikarenakan berada di dalam ruangan berjam-jam)," pikirku.

Aku kemudian melihat sekeliling. Kukucek-kucek mata. Tanah menjadi berwarna abu-abu semua. Langit juga masih gelap. Aku kemudian menjauh dari ruangan, menjauh dari naungan atapnya, untuk memastika. Motor yang ada di sekitarku juga menjadi berwarna abu-abu. Aku kemudian menjulurkan tanganku, seperti mengecek apakah ada sesuatu yang jatuh dari langit. Tanganku menjadi berbintik-bintik warna abu-abu. Aku kemudian bisa menyimpulkan bahwa ini sekarang sedang hujan abu. Aku pun sms temanku yang sudah balik ke Jogja apakah benar sekarang sedang hujan abu, karena memang aku kurang yakin, dan memang masih pengalaman pertama.

Untuk memastikan lagi, aku kemudian menengadah ke langit tanpa naungan atap. Sekejap kemudian, mataku sukses kelilipan abu vulkanik yang tajam. Bodohnya aku. 

Aku sigap untuk masuk ke ruangan, menyalakan laptop, dan ngerjai skripsi buka browser, ngecek berita tentang hujan abu yang barangkali sudah terpublish.

Benar, sedang terjadi hujan abu dari Gunung Kelud, Jawa Timur.

.......

Beberapa jam kemudian, aku melihat lingkungan semuanya serba abu. Bahkan angin juga.

Aku kemudian iseng jalan dengan naik motor, lihat-lihat pemandangan pasca atau lebih tepatnya saat hujan abu.
Beberapa detik kemudian, sampailah aku di jalan raya. Anginnya membawa abu. Aspal berwarna abu, menampung abu vulkanik yang tebal. Bahkan di beberapa tempat, kau hanya bisa melihat cahaya lampu kendaraan saja, kau tidak bisa melihat lingkungan sekitarmu. Dan pada di tempat yang seperti ini, aku membuka kaca helm, barangkali menjadi terlihat lebih jelas. Dan lagi, aku sukses kelilipan abu vulkanik lagi. Ah bodohnya.

Dari kejadian ini kita bisa menyadari.
Aku yang awalnya tertarik dengan hujan abu ini, menjadi merasa kurang nyaman, karena tubuh dikotori abu, lantai kamarmu dikotori abu, piring dan gelasmu dikotori abu, atap rumahmu dikotori abu, motormu dikotori abu, dan makananmu dikotori abu.
Aku yang awalnya tertarik dengan hujan abu ini, menjadi merasa kurang aman, karena jalanan penuh dengan debu, angin membawa abu secara liar. Jarak pandangan hanya beberapa meter, rasanya lebih berbahaya daripada kabut.
Kita yang awalnya mengeluh jika hujan (air) turun, menjadi sangat berharap hujan (air) itu turun, membersihkan debu-debu, mengubahnya menjadi lumpur.

Aku sadar nikmat berupa kesehatan, keamanan, kenyamanan, adalah nikmat yang sebenarnya nikmat (?). Nikmatnya nikmat itu tak (atau kurang ) akan terasa sebelum nikmat itu hilang menjauhiku.

....

Tiga hari pasca hujan abu (ohya hujan abunya berhenti di siang Jumat itu), kampus mengadakan kerja bakti. 


Akan kau rasakan betapa yaaa bencana ini sebenarnya memberikan kita pelajaran bahwa seharusnya kita tidak melupakan nikmat sehat, aman, dan nyaman yang sudah diberikan Allah subhanahu wa ta'ala.

Udah gitu aja.





Sumber foto: Twitter @JogjaUpdate, @sccf_ugm, Fendi, dll. (maaf lupa)

Komentar