Langsung ke konten utama

Sahibul Mushola 6

"Siapa Muhammad Ali Imran?"

Itulah kalimat yang tertera di atas kertas yang baru diperoleh Hafiz beberapa jam yang lalu.

"Fiz, darimana kau dapati itu? Tolong. Jawab. Jujur", kataku setengah memaksa.

"Tadi, kami berhenti sebentar di pinggir jalan..." kata Hafiz mengawali pernyataannya.
"Kenapa berhenti?" tanyaku tidak sabar.
"Bentar dulu, Li. Kami tau kau panik. Tapi, dengar dulu sebentar. Nah, kami berhenti gara-gara melihat kertas aneh ini di tengah jalan. Menurutku itu aneh."
"Kenapa aneh?", aku kurang yakin kertas di tengah jalan bisa membuat orang heran. Menurutku kertas di tengah jalan pasti akan dianggap sampah biasa oleh banyak orang. Sejenak, aku mencurigai Hafiz.
"Karena kertas itu tertempel di atas batu besar. Ya, kira-kira sebesar bola kaki lah. Aneh aja kalo ada batu sebesar itu di tengah jalan pas dini hari. Maka ku suruh Bayu berhenti," terang Hafiz.
"Oh, ya, aku juga lihat ada sosok yang berlari melewati batu itu. Ku rasa dia yang menaruh kertas itu," lanjut Akbar.
"Kau lihat ke mana dia lari?" tanyaku.
"Lihat. Yah, aku cuma tau arahnya aja. Tapi, dia lari ke mana aku gak tau."
"Bentar, kalo kau lihat, kenapa yang lain gak lihat?" ini membuatku semakin curiga.
"Maksudku kami semua lihat," kata akbar tanpa ada ekspresi gugup.

Kupikir mereka cuma iseng dan mengerjai aku. Tapi, saat ini aku sudah mempercayai mereka.

Rasanya aku semakin takut. Aku takut pengirim surat itu adalah orang yang dendam padaku. Tapi, seingatku aku gak pernah buat orang dendam sebegitu parah. Paling banter, aku pernah gak berkomunikasi sama orang selama 2 hari. Setelah itu mulai akrab lagi. Yah, itu seingatku.

"Udahlah. Palingan itu orang yang kurang kerjaan yang mau buat si Ali bingung," kata Faruq dengan santai.
"Atau mungkin orang itu nge-fans sama kau, Li," kata Mitra menghiburku.

Rasanya aku ingin melawan pernyataan mereka yang dengan mudah dinyatakan. Tapi, saat ini aku malas berdebat.

"Udah, yok. Langsung ke kamar," kata Faruq.

Dan kami pun langsung ke kamar.

***

Matahari sudah menunjukkan sebagian dari wujudnya. Hari masih tampak agak gelap. Ku lihat jam tanganku. Jam 5. Sudah 2 jam sejak kami pulang dari Ekspedisi Merah Jambu.

Setelah semua shalat Subuh, kami semua keluar untuk membeli sarapan. Sesaat aku tidak terlalu memikirkan surat aneh itu. Sangat sulit itu menghiraukannya. Kupikir pengirim atau lebih tepatnya "peletak" surat itu adalah orang yang sama dengan orang yang mengirim surat ke Hafiz.

Jam 2 siang kami bergegas menuju rumah masing-masing. Sampai rumah, aku langsung tepar di kamar. Setelah bergadang di rumah orang, aku akhirnya "balas dendam" di rumah untuk tidur.

Komentar