Note: Cerita ini bukanlah cerita sinetron. Apalagi cerita cengeng. Cerita ini adalah cerpen. Ingat! Ini blog. Bukan sinema elektronik. Jadi kalo ada bagian yang agak lebay, itu karena gue habis nonton sinetron. Info: Kalo belum baca cerita sebelumnya, klik ini
Selama mereka sholat, orang yang paling ku harapkan bersamaku saat ini hanyalah guru BP yang memberi surat itu kepada Hafiz.
Di tempat duduk yang di depan mushola itu aku duduk menunduk. Ini jarang sekali kulakukan, karena biasanya aku melihat orang-orang yang lewat di depan mushola.
Para sahibul mushola sudah siap sholat. Sampai di tempat duduk yang kududuki, mereka hanya melihatku. Sebenarnya sikap seperti ini sangat ku benci. Sikap melihat seperti itu membuat harga diriku seperti diinjak. Jatuh sekali.
"Jangan lihat aku kayak gitu", kataku datar.
Spontan mereka langsung duduk di tempat duduk.
"Kayaknya itu cuma iseng, Li", kata Ilham.
Aku diam saja.
"Gak usah dipikirkan kali", kata Akbar.
"Iya..iya.." kataku datar.
Sekarang aku malas berdebat. Malas beradu argumen. Gimana bisa aku memikirkan itu hanya iseng? Bagaimana bisa aku gak memikirkannya.
"Eh, aku pulang duluan, ya", kataku.
"Tumben pulang cepat" kata Sule.
"Badanku kurang enak ni. Oke, aku pulang, ya. Assalamualaikum" kataku sambil mengambil tasku di mushola.
***
Sudah 2 minggu sejak aku membaca isi surat itu. Pikiranku sekarang tenang. Mungkin mereka benar, surat itu cuma iseng. Tapi, pertanyaan yang masih nyangkut di pikiranku: "kenapa sampai segitunya untuk isengi orang lain?"
Hari ini, sepulang sekolah, aku dan para sahibul mushola ada rencana untuk nginap di rumah Faruq, karena besok libur.
Sore harinya, kami ngumpul di sekolah, tepatnya di mushola dong. Kebetulan, hari ini Mitra ikut nginap. Oh, ya, Mitra ini orangnya asyik. Dia pujaan banyak cewek di sekolah. Selain karena wajahnya yang imut, sifatnya gak pernah buat orang benci sama dia. Oke, aku bukan homo yang suka sama dia.
Rencananya, tengah malam nanti, kami jalan-jalan ke makam pahlawan dengan naik mobil Mitra dan Faruq untuk melakukan ekspedisi Merah...Jambu. Ekspedisi ini dipelopori oleh Adrian.
Dan, dini hari pun tiba. Yang satu mobil dengan Mitra adalah aku, Faruq, Ilham, dan Sule. Dan yang naik mobil Faruq adalah Adrian, Akbar, Hafiz, Naufal, dan Bayu.
Ekspedisi dimulai...
*song: Supermassive Black Hole - Muse*
Mobil yang berada di depan itu mobil kami, dan di belakang yang mengikuti adalah mobil Faruq yang pemiliknya berada di mobil Mitra.
*Hening 1 menit*
Sampailah kami di makam pahlawan. Jalan mobil pun dipelankan. Maksudnya bukan untuk menghormati para pahlawan itu, karena sebenarnya jarak makam dengan mobil kami sangat jauh. Tapi, sebenarnya, kami ingin memantau
Ini. Ngenes. Sekali.
Sekejap, masalah tentang surat mistis itu bisa kulupakan.
Sampai di dekat semi cowok itu, kami langsung membuka kaca mobil dan berteriak "ALLAHU AKBAR..!"
Sesudah teriak, kami langsung tancap gas. Takut disangka anggota FPI.
Kami pulang ke rumah Faruq. Sekarang sudah jam 3 pagi. Sampai di depan pagar rumah Faruq, Hafz tiba-tiba keluar dari mobil, dan langsung menuju mobil kami.
"We, buka kacanya", kata Hafiz dari luar mobil kami.
"Kenapa, fiz?" , tanya Ilham.
"Li, ini", kata Hafiz sembari memberi sebuah kertas berwarna cokelat usang.
Aku langsung buru-buru membuka lipatan kertas itu, dan membacanya.
"Siapa Muhammad Ali Imran?"
Ini semakin membuat dadaku sesak. Banyak pertanyaan yang timbul di benakku.
Kenapa surat itu harus selalu melalui Hafiz?
Bagaimana si pengirim bisa tau kalau Hafiz berada di mobil?
Hafiz dapat darimana surat itu?
Kenapa pengirim menanyakan aku?
Komentar
Posting Komentar