Langsung ke konten utama

Sahibul Mushola

Semuanya udah lelah. Aku, Hafiz, dan Sulek pun pulang dari rumah Farouq. Kegiatan yang kami lakukan tadi membuat kami capek. Untung saja, aku punya kawan kayak mereka. Dan aku nggak tau apa mereka beruntung punya kawan kayak aku :D.

"Yah, mendung", kataku.
"Bante kata Sulek dengan intonasi melawak.

Dan kami pun berangkat pulang dengan naik motor. Baru 5 menit kami mengayuh motor kami, eh bukan mengendarai motor kami, hujan turun. Wah, ini gawat. Bukan karena hujannya. Tapi, karena aku, dan teman-teman akan kebasahan (yaiyalah). Mana bensin kereta udah mau habis, dan sekarang motorku lagi menyendat-nyendat.

Kami semua pun memutuskan untuk berteduh di bawah halte kecil.

"Oh, ya. Kalian tunggu di sini aja ya. Aku mau isi bensin dulu. Nanti balik ke sini." kataku.
"Oke", kata Sulek.
"Beneran nunggu di sini, kan?"
"iya"

Dan aku langsung tancap gas menuju pom bensin. Sebenarnya aku nggak harus ke pom bensin, karena ada yang jual bensin eceran. Tapi, karena aku nggak mau rugi, dan karena harga keduanya sama namun lebih sedikit volume bensin eceran, maka aku pasti ke pom bensin.

Dan setelah mengalami perjuangan yang berat: mengendarai motor yang jalannya sentak-sentak, akhirnya aku sampai juga di pom bensin. Selama pengisian, aku memikirkan keluargaku di rumah. Apakah mereka memikirkanku? Dan, aku tahu pasti jawabannya: NGGAK. Aku juga memikirkan teman-temanku yang duduk diam (atau mungkin lagi tidur) menunggu hujan reda. Atau mungkin juga lagi mandi hujan. Aku juga memikirkan Hafiz, dan Sulek. Aku takut mereka kelamaan menungguku di halte dalam keadaan kedinginan. Dan aku takut, mereka beli gorengan di samping halte, dan segera menghabiskan makanannya sebelum aku balik. Oh, tidak. Ini nggak bisa dibiarkan.

"Mbak, cepat sedikit, ya" kataku pada pengisi bensin.
"Iya, bang. Saya juga nggak mau lama-lama lihat abang"

Hening.

Setelah bensinku terisi 1,11 liter, aku langsung tancap gas menuju halte, tempat Hafiz, dan Sulek menungguku sambil makan gorengan tanpaku.

Sesampai di halte.

"Eh, sorry, ya. Lama."
"Nggak apa-apa. Kirai kau masih lama juga."
"Kalian ada beli gorengan?" kecemasanku memuncak.
"Yah, nggak lah. Malah kami mengharapkan kau walaupun kami tau itu salah besar"
"Nah, kau betul. Salah besar."

Hening.

Hujan masih senangnya berjatuhan. Belum lagi tanah-tanah (tanah: benda yang tidak bisa dihitung dan dibuat jamak) tanah itu sibuk menahan sakitnya hentaman air hujan yang dengan senang hati melakukan pukulan dan hentaman itu, membuatku jadi teringat cewek itu (?)

"Kayaknya kita gak bisa nunggu lama, nih. Hujannya nggak berhenti", kataku.
"Tunggu aja lah"

Tiba-tiba, Hafiz ngawur.

"Eh, aku jadi teringat teman-teman mushola."
"...." kataku
"Iya, aku jadi pengen nulis tentang kita, anak-anak mushola." Hafiz berbicara sambil melihat awan yang sedang menangis.
"Oh, aku pun udah lama kepengen kayak gitu", kataku.
"Tapi, aku mau buat judulnya 'Sahibul Mushola. Kalau A. Fuadi 'Sahibul Menara', nah, kita 'Sahibul Mushola', kumpulan sahabt yang sering nongkrong di mushola."
"Sebenernya menarik, fiz, tapi aku malu." kataku.
"Kok malu?"
"Soalnya mushola kita kurang diperhatikan sama pemerintah."
"Pemerintah?"
"Iya. Pemerintah sekolah"
"Yap. Tapi, aku ingat kali, kebersamaan kita di mushola."
"...."
"Kok jadi melankolist gini kau, fiz?" kata Sulek.
"Iya, kalian pasti ingat kalau kita itu pernah nangis bersebelas orang di mushola, kan?"
"Yah, dan yang menghentikan tangisan kita cuma adzan sholat Isya (-_-")" kata Sulek.
"Dan semua unek-unek kita tersampaikan."
"Kalau kita capek belajar, kita ke mushola. Kalau kita mau diskusi, kita ke mushola. Kalau kita pengen nonton bareng, kita ke mushola. Bahkan, kalu kita mau sholat pun kita ke mushola." kata Hafiz.
"Gubrak. Yaiyalah" kataku.
"Kita juga sering bercanda di mushola, berdebat, sok jadi ustadz, belajar bareng di mushola." kata Sulek yang aku nggak tau kenapa dia sanggup mengatakan hal yang tabu itu.

"Dan itulah segelintir kisah Sahibul Mushola.


#Bersambung ke 'Sahibul Mushla 2'

Komentar