Langsung ke konten utama

Sahibul Mushola 3

Note: Jika belum baca cerita sebelumnya, klik ini

NB: Cerpen ini, bukanlah cerita humor. Jika terdapat kalimat-kalimat lucu, itu hanyalah selingan dan fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, julukan, tempat, lokasi, tempat, dan lokasi, bahkan juga tempat dan lokasi, serta tempat dan lokasi, gue mohon maaf.

***

Hafiz mashi duduk termenung di bawah meja. Ya, di bawah meja. Dia bukan lagi galau. Bukan juga lagi putus cinta. Bahkan dia bukan lagi menyesali cintanya yang ditolak. Bukan semua dari beberapa kemungkinan di atas, tapi dia lagi duduk termenung. Seperti yang gue bilang di atas.

Di  kolong meja itu, dipegangnya sebuah surat yang masih lengkap dengan amplop dan perangkonya. Amplop itu belum dibukanya. Selama 3 hari ini, dia memikirkan waktu yang tepat untuk membuka dan membaca surat yang pernah dikirim Tukang Pos kepada guru BP nya. Entah kenapa dia memiliki firasat buruk sama surat itu.

Hujan di luar kamarnya masih turun dengan derasnya. Di bawah meja, Hafiz merasa hangat. Itu salah satu alasannya untuk memilih duduk di situ.

"Kalau aku membaca surat ini sama keluargaku, aku takut ini bisa menambah masalah kalau memang benar surat ini bermasalah" kata Hafiz dalam hati.

Kemudian dia berdiri. Tidak lupa dia lupa berada di bawah meja. Tapi, masih saja dia terbentur meja. Kemudian, dia menaruh surat "misterius" itu di bawah bantal. Lalu, dia tidur. Menuju mimpi. (Tentunya dia sudah solat Isya)


***


Matahari belum muncul. Belum memancarkan sinarnya. Bahkan sinarnya menuju kamarku yang terbuka jendelanya. Ku lihat jam tanganku. Sekarang jam 5 pagi. Mau bangun, namun mata masih setengah hati untuk terbuka (ini kalimat dari siapa?)

Masih dengan setengah hati, aku bangkit dari tempat tidur, dan pergi mandi, kemudian ke sekolah (tentunya sudah menjalani tahap-tahap persiapan anak sekolah pada umumnya)

***



Bel istirahat sudah berbunyi. Seperti biasa, aku pergi ke mushola untuk menghabiskan waktu 15 menit ini. Sesampai di mushola, aku melihat Hafiz duduk di bangku depan mushola. Tidak biasanya dia cepat sampai.

"Kau tadi nggak belajar? Kok cepat nyampe di sini?", tanyaku.
"Iya. Aku tadi ke ruang BP."
"Ngapai?"
"Cuma nanyak masalah surat ini."
"Fiz, dengarkan aku".

Kemudian, aku meletakkan kedua tanganku di pundaknya sambil menatap matanya dengan tajam. Lalu kudekatkan kepalaku ke Hafiz, dan sedikit memiringkan kepalaku. Dan bilang, "Hafiz, ada upil di hidungmu"

Hening.

Bukan deng.

"Fiz, ini cuma surat, lho. Tinggal baca doang." kataku hampir nggak sabar.
"..."
"Kenapa?"
"Li, nanti pulang sekolah, sahibul mushola ngumpul, ya."
(aku tahu, ini pasti masalah surat)
"Oke".

***


Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Sejak les terakhir, aku jadi ikutan galau gara-gara surat "misterius" itu. Aku sedikit mempercepat langkahku.

Sampai di mushola, aku melihat Farouq dan Sulek sudah tiba di mushola. 2 menit kemudian, Hamdi dan Akbar tiba. Barulah setelah 10 menit, Ilham, Vidori, Adrian, Dani, Naufal, dan  Hafiz sudah  tiba di mushola.

"Kita solat zuhur nanti aja, ya", kata Hafiz.
'Kita ngumpul di mana?"
"Di lantai 3, ya"

Sesampai di lantai 3, kami membentuk barisan lingkaran kecil, kemudian duduk. Aku duduk di samping Hafiz. Perlahan, Hafiz membuka amplop itu.  Kemudian ditariknya keluar surat itu. Selain satu lembar kertas, isi amplop itu kosong.

Perlahan Hafiz membuka lipatan surat itu. Kemudian, kami saling mendekati Hafiz.

Dan surat itu terbuka, kemudian kami membacanya.

Ini tidak mungkin. Setelah membaca surat itu, semuanya keringat dingin. semua tegang. Semua mata tertuju padaku. Aku lebih terkejut dari semuanya.

Ini nggak mungkin. Aku tidak punya hubungan apapun. Pasti isi surat itu punya maksud lain. 
Surat itu, pasti punya maksud lain. AKU TAKUT!!!!

Bersambung ke Sahibul  Mushola 4

Komentar

Posting Komentar