Langsung ke konten utama

Jangan Menyerah

Panas terik matahari tidak menggoyahkan semangatnya untuk menonton penampilan seorang yang memainkan biola dengan indahnya di pinggir jalan. Selain Maya, banyak juga orang yang menonton. Para penonton tampak tercengang melihat aksi menakjubkan dari seorang pemain biola itu.

Maya masih saja mengimpikan menjadi seorang pemain biola handal, walaupun dia tahu dia punya kekurangan. Dia tuli. Kekurangan ini sudah dimilikinya sejak berumur 9 bulan. Pada saat itu, dia sudah tidak seriang seperti sebelumnya.

Impiannya yang tinggi ini sering diutarakan pada orang-orang yang mengenalnya. Impian yang tidak realistis bagi kebanyakan orang.

"Seharusnya kau ngaca dulu. Saya yang normal saja belum terlalu pandai memainkan piano. Apalagi kau yang...em, biar ku tebak. Tuli mungkin", ungkap Cindy, temannya yang sangat tidak suka sama orang yang terlalu sering berkhayal, melalui sebuah tulisan di kertas ketika mereka bersama-sama di ruang musik. Tulisan ini membuat Maya menjauhi Cindy.

Tidak hanya Cindy, kebanyakan orang juga mulai enggan berdekatan sama Maya. Mereka juga berpendapat bahwa Maya tidak pernah memikirkan perasaan orang yang normal yang juga kesusahan dalam mempelajari biola.

"Kenapa mereka tidak memikirkan perasaanku yang ingin sekali bermain biola?", gumam Maya dalam hati.

Tepuk tangan riuh diberikan kepada pemain biola itu. Panas matahari disamarkan dengan hangatnya tepuk tangan penonton.

Para penonton pun mulai meninggalkan area pertunjukkan itu setelah mereka memberi uang pada pemain itu. Maya pun juga mendekati pemain biola itu. Bukan untuk memberi uang, tapi ngomong.

Maya pun memberi isyarat tangan pada pemain biola itu. Karena dia sendiri tidak bisa mendengar perkataannya yang diucapkan sendiri, sehingga otaknya pun tidak sanggup untuk memerintahkan mulut untuk berbicara.

"Bapak hebat, ya", arti dari gerakan tangannya.

Hal yang tak diduga, pemain biola itu memberi respon dengan isyarat tangan juga. Dia bisu.

"Terima kasih, ya, nak", arti dari bahasa isyarat tangan bapak itu.

Maya yang shock melihat pemain biola itu memberi isyarat tangan menjawab, "Iya, pak. Ngomong-ngomong saya juga ingin jadi pemain biola, pak".


"Wah, bagus, nak", kata bapak itu sambil mengajak Maya untuk duduk di trotoar. Sepertinya panas matahari yang semakin menyerang bukan jadi penghalang ambisi Maya untuk belajar dari pemain biola bisu itu.

"Jadi, sudah seberapa jauh kamu mengejar impian kamu itu?" masih dengan isyarat tangan pemain biola itu.

"Sejauh ini, saya masih sampai di makian banyak orang"

Sepertinya si pemain biola itu mengerti maksud Maya. "Nak. Tidakkah kamu tahu? Kamu sudah mempunyai alat untuk membuat kamu lebih ercaya diri, dan bisa saja membuat kamu lebih jauh mengejar impian kamu itu?"

Maya tampaknya tidak mengerti. Alat apa itu? Dia yakin tidak alat atau semacam apa yang bisa membuat dia dekat menjadi seorang pemain biola. Yang bisa dia yakini satu-satunya adalah bahwa dia tuli. Hal ini membuat dia sangat ingin bertanya, "Alat apa itu, pak? Saya tidak yakin saya punya itu"

Pemain biola itu tersenyum, tampaknya tahu kalau Maya tidak mengerti dan bahkan dia beranggapan Maya mempunyai pemikiran yang sangat sempit. "Kau tidak tahu, nak? Sebelumnya, apa kamu percaya kalau kekurangan bisa dijadikan kelebihan, nak?"

Dengan ragu, Maya menjawab, "Hem, saya yakin, pak"

"Nah, kenapa kamu tidak mengerti, nak?" Sebelum menjelaskan lebih jauh lagi, dia menunggu reaksi Maya yang bisa membuat dia tahu apakah Maya sudah mengerti atau belum. Tapi, dia tidak melihat  sikap Maya yang kelihatan mengerti. "Maaf, kamu tuli, kan, nak. Tapi, ketahuilah bahwa ketulian kamu itu bisa membuat kamu kuat. Kamu tidak bisa mendengar hal-hal yang buruk yang ditudingkan padamu. Tapi, bisakah kamu coba dari kemampuan kamu itu membuat kamu lebih percaya diri. Bisakah kamu buat indera-indera kamu itu seperti telinga kamu yang tidak bisa mendengar itu. Bisakah kamu buat indera kamu memiliki kelebihan seperti telinga kamu yang tidak bisa menerima apapun. Tapi, untuk indera yang lain, hanya untuk menolak hal yang buruk"

Maya rasanya berpikir keras untuk mencerna maksud dari bapak itu. Sedikit lebih mengerti sekarang.

"Tapi, pak. Apa kita tetap saja kurang dari sebagian orang yang normal?"

"Seperti yang sudah kubilang tadi. Kekurangan itu bisa dijadikan kelebihan. Percayalah, nak bahwa Allah tidak memberi kita sesuatu yang bisa membuat kita susah kecuali pasti ada hikmahnya. Tak terkecuali dengan kita. Coba kita berpikir lebih jauh. Kalau dipikir-pikir orang yang normal punya kesusahan juga dalam memainkan biola. Bahkan parahnya, kepercayaan dirinya bisa hilang akibat makian orang bahkan pujian bisa membunuhnya juga, karena dia punya kemungkinan tidak berusaha lagi setelah mendapat ujian. Kamu lain, nak. Kamu tidak bisa menerima makian dan pujian dari orang, kendatipun dengan ekspresi mereka. Karena ekspresi yang melambangkan makian dan pujian tidaklah cukup."

"Tapi, bagaimana dengan bapak? Bapak bisa mendengar", kata Maya (tentu denga isyarat tnag) yang buru-buru menunjukkan sikap yang sopan karena dia merasa kata-katanya tadi kurang sopan.

"ya, nak. em, boleh aku tahu namamu, nak?"

"Maya, pak"

"Oh, nama yang bagus. Dengar, nak. Saya bisa mendengar. Saya juga bisa mendengar makian dan pujian. Tapi, saya tidak bisa merespon apresiasi mereka. Ini buat saya bisa lebih berusaha. Kau tau maksduku, nak?"

Tampaknya Maya sangat mengerti. Dia ingin segera pergi dari trotoar itu. Bukan karena menyesal duduk bersama pemain biola bisu, tapi karena dia ingin segera mengejar impiannya. setalah mengucapi banyak terima kasih pada pemain biola itu, dia berlari sepanjang jalan menuju rumah. Sesampai di rumah, dia bergegas mengambil biolanya dan langsung meninggalkan rumah lagi, berlari menuju padang rumput yang luas dan tinggi.

Di tengah padang rumput, dia memainkan biola itu. Dimainkannya sebuah lagu kesukaanya yang telah diajar gurunya yang sangat sabar mengajarnya. Kegersangan padang rumput dan teriknya matahari seakan hilang, diusir oleh gesekan biola Maya. Rumput dan angin seolah menari mengikuti irama gesekan indah dari biola Maya.



"Cerpen ini diciptakan sendiri Muhammad Ali Imran"

Komentar

  1. perasaan aku, ini yang iklannya pantene dari sensei itu laa.... kok "Cerpen ini diciptakan sendiri Muhammad Ali Imran" ?

    BalasHapus
  2. iya. tapi sensei cuma ngasih video yang gak ada dialog nya, gak ada latar nya, gak ada lapangannya. apalagi ya gak ada?

    BalasHapus

Posting Komentar