Langsung ke konten utama

Identifikasi Pengaruh Tinggi Bangunan Terhadap Risiko Resonansinya untuk Mengurangi Potensi Kerusakan Terhadap Gempa Bumi

“Hai, Tangguh… Malam ini kamu ada acara, nggak? Nonton, yuk! Aku udah sengaja beli tiket layar tancap bioskop, nih!” kata Disya padaku.

Aku menoleh padanya, berpaling dari layar laptopku. Aku terdiam. Tak kusangka kalau dia ingin mengajakku menonton film. Berdua bersamanya.

Sekitar 5,3 detik aku hanya diam, menatap matanya. Baru saja aku ingin menanggapi ajakannya, aku merasa gemetar. Getaran badanku terasa cukup kuat.

Oh, tidak. Apakah ini yang namanya jatuh cinta?

“Tangguh, gempa!!!”

Aku kaget. Disya berteriak padaku.

Dia benar. Ternyata tidak cuma badanku yang gemetar. Tanda “EXIT” ikut bergoyang. Cangkir di samping laptopku pun juga mengeluarkan kopi. Kursi-kursi yang tidak diduduki bergetar, bergerak sendiri. Ya! Seisi kantor ternyata juga ikut bergetar. Gempa bumi!

Tidak lama kemudian, datanglah seorang floor warden menginstruksikan kami untuk jangan panik dan keluar dengan tenang melalui pintu emergency menuju titik kumpul di luar gedung dan dilarang menggunakan lift. Rekan-rekan kerjaku melaksanakan instruksinya dengan baik. Tentu saja, aku pun juga mengikuti instruksinya tapi ditambah dengan improvisasi menahan hati yang bergetar sejak Disya melontarkan ajakannya tadi.

Aku ingin berkata, “Ini bapak floor warden nggak mau ngasih instruksi untuk hati yang bergetar, nih? ‘Kan bahaya kalau saya terlalu berimprovisasi. Hehehe…” tapi aku urungkan karena sudah keburu meninggalkan bapak floor warden.

Akhirnya, sampailah kami di titik kumpul gedung kantor. Ramai sekali. Tentu saja, rasanya hampir seluruh karyawan keluar dari gedung berlantai 11 ini.

Aku mencari Disya di antara kerumunan orang-orang. Tidak sulit mencarinya, karena dia sendiri yang langsung memanggilku.

“Tangguh!”

Tidak tampak ekspresi panik dari wajahnya.

“Syukur, ya. Tidak ada korban jiwa. Gedung kita juga masih kokoh. Padahal lumayan kuat, loh, gempanya,” katanya.

“Yap, syukurlah,” kataku.

Lalu, keesokan harinya kami menikah dan tahun depan punya anak yang diberi nama Mukidi.

***





Oke, maafkan saya yang terlalu banyak memberikan pembukaan yang tidak jelas. Ini semata hanya memenuhi syarat jumlah minimal kata di kontes ini untuk memberikan gambaran mudah untuk para pembaca mengenai gempa bumi dan ketahanan bangunan terhadap kejadiannya.

Gedung kantor Tangguh tidak rusak dikarenakan gedung tersebut tidak mengalami resonansi dengan getaran tanah. Resonansi terjadi apabila nilai frekuensi natural gedung sama atau mendekati sama dengan nilai frekuensi natural tanah. Jadi, begitulah, sehingga akhirnya Tangguh dan Disya bisa menikah.

Gimana gimana? Frekuensi natural? Resonansi? Apa hubungannya? Kok bisa frekuensi natural dikaitkan sama gedung kantor si Tangguh-yang-udah-menikah-dengan-Disya-lalu-tahun-depan-punya-anak-yang-bernama-Mukidi itu tidak rusak?

Oke, pembaca. Saya jelasin sedikit, ya.

Tanah ini memiliki frekuensi natural. Nilai frekuensi natural tanah dapat diperoleh, salah satunya dengan cara menggunakan pengolahan data mikroseismik yang diperoleh dari pengukuran yang menggunakan seismometer. Besar kecilnya nilai frekuensi natural tanah dipengaruhi oleh ketebalan lapisak lapuk dan tingkat kekompakannya (Kramer, 1996). Nilai frekuensi natural yang rendah menunjukkan ketebalan lapisak lapuk yang tinggi dan tingkat kekompakan yang rendah sehingga lebih rentan terhadap gempa bumi. Begitu juga sebaliknya: ˙ıɯnq ɐdɯǝƃ dɐpɐɥɹǝʇ uɐʇuǝɹ ɥıqǝl ɐƃƃuıɥǝs ɥɐpuǝɹ ƃuɐʎ uɐʞɐdɯoʞǝʞ ʇɐʞƃuıʇ uɐp ıƃƃuıʇ ƃuɐʎ ʞndɐl ʞɐsıdɐl uɐlɐqǝʇǝʞ uɐʞʞnɾunuǝɯ ɥɐpuǝɹ ƃuɐʎ lɐɹnʇɐu ısuǝnʞǝɹɟ ıɐlıu

Selain tanah, gedung pun juga mempunya nilai frekuensi natural. Semakin tinggi bangunan, maka semakin rendah nilai frekuensi naturalnya (Arnold, dkk., 2006), sehingga ini menunjukkan bahwa bangunan yang tinggi cocok kerja di air didirikan di atas tanah yang memiliki frekuensi natural yang tinggi atau yang memiliki ketebalan lapisan lapuk rendah dan tingkat kekompakan yang tinggi. Ini jika diinterpretasikan secara kualitatif. Namun, secara khusus, bangunan akan aman selama frekuensi natural bangunan tersebut tidak sama atau mendekati nilai frekuensi natural tanah tempat dia dibangun.

Sebuah bangunan (gedung) dapat dievaluasi tingkat kerentanannya terhadap gempa bumi dengan cara menghitung nilai frekuensi natural gedung dan tanah menggunakan metode FSR (Floor Spectral Ratio) dari hasil pengukuran mikrotremor (Sungkono, dkk., 2011). Perhitungan metode FSR dapat menunjukkan rasio redaman gedung dengan arahnya serta dapat menunjukkan lantai mana yang paling berisiko mengalami kerusakan paling parah akibat gempa bumi.

Hasil pengukuran dan perhitungan tersebut berguna untuk antisipasi khusus dalam menghadapi bencana gempa bumi. Apalagi buat tim HSE (Health, Safety, and Environment) gedung tersebut menjadi lebih tanggap terhadap penanganan khusus di suatu lantai (misal, membuat pintu emergency yang lebih banyak dan desain interiornya yang lebih aman terhadap jatuhan).

Tapi, ngomong-ngomong. Apa pembaca tidak penasaran kenapa Tangguh dan Disya bisa mendadak menikah gitu?

Oke, kita lanjut simak penuturan dari Tangguh sendiri, ya.

***





“Tapi, kok bisa sih di suatu tempat yang sama, ada gedung yang rusak, ada juga yang masih kokoh gitu, ya?” tanya Disya.

“Iya, Dis. Jadi memang ada faktor-faktornya?”

“Ohya? Apa saja? Eh, maksudku. Apa adjah?”

Lalu Tangguh menjelaskan pengetahuannya mengenai metode FSR tadi.

“… Jadi begitu, Dis. Kalo udah tau kan enak. Dengan begitu, kita siap untuk selamat.”

3 menit kemudian…

Disya terdiam. Matanya hampir melotot. Mulutnya hampir tidak terkondisikan: menganga terlalu lebar. Sekitar 10 detik Disya terdiam, lalu dia berbicara pelan. Pelan sekali. Seperti berbisik.

“Tangguh, nikahin aku. Please.”

TAMAT.




Referensi:
  • Arnold, C., Bolt, B., Dreger, D., Elsesser, E., Eisner, R., Holmes, W., McGavin, G., Theodoropoulos, C., 2006, Designing for Earthquake, Earthquake Engineering Research Institute (EERI), Oakland, California, USA.
  • Kramer, S. L., 1996, Geotechnical Earthquake Engineering, New Jersey: Prentice Hall.
  • Sungkono, Dwa D., Triwulan, W., 2011, Evaluation of Buildings Strength from Microtremor Analysis, International Journal of Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS Vol: 11 No: 05, Rawalpindi, Pakistan.

Komentar