Langsung ke konten utama

MABA


Pergi ke warung buat beli teman skripsian (baca: Tor*bika Cappucino). Sampai di warung, ketemu seorang mas-mas (baiknya ditulis ‘mas-mas’ yang bisa-saja-nanti-dikira-jamak atau tulis ‘mas’ aja yang kelihatan-agak-aneh-untuk-dibaca, ya?). Mas-mas ini sudah lama sekali saya ingin ajak bicara karena baru sekitar dua bulan ini dia kelihatan sering berjamaah di masjid. Sehingga buat siapa saja berpikir kalau mas-mas ini mungkin saja merupakan orang baru.
Kupikir, di warung sekarang inilah sepertinya saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk ngobrol-ngobrol dengan masnya, sekadar ingin menuntaskan keingintahuan kenapa baru kelihatan perkenalan saja.
Saya menunggu masnya selesai membeli. Selesai dia membeli, saya dihadapkan atas dua pekerjaan sekaligus: mencegat masnya agar tidak pergi-duluan-biar-bisa-diajak-ngobrol dan berusaha mencegah ibu-ibu warungnya tidak menganggap saya orang yang memberi harapan palsu yang datang-ke-warung-bukannya-membeli-tapi-malah-cuma-ngobrol-dengan-pembeli-lainnya (karena warung ibu ini adalah warung kecil, sehingga ketika pembeli selesai membeli, pasti akan langsung meninggalkan warungnya ke rumahnya sampai datang pembeli lainnya, sehingga datangnya saya ke warung ibu ini membuat ibunya juga bingung, antara menunggu saya selesai ngobrol dengan masnya atau langsung meninggalkan warungnya).
Kemudian saya bertindak cepat.
Begitu mas-masnya membalikkan badan, saya cegat. “Mas, assalamu’alaikum.” Sambil berjabat tangan, melihat wajahnya, sekaligus melihat wajah ibu warungnya-yang-sepertinya-sudah-menunjukkan-ekpresi-dilema-apakah-meninggalkan-warung-atau-menunggu-saya-selesai-ngobrol, saya langsung berkata kepada ibu warungnya: “Bu, beli Tor*bika yang itu sekian dan yang itu sekian” sambil menjabat tangan masnya dan menunjukkan barang yang saya maksud.
Oke, clear. #HidupLuRibetAmatDahLi
Sementara ibunya menyiapkan pesanan saya, saya mulai percakapan dengan masnya yang sekilas saya lihat wajahnya tampan sekali menunjukkan ekspresi yang sepertinya tidak merasa terganggu untuk saya ajak bicara, bahkan kelihatannya merasa senang.
Saya: Kosnya di mana mas?
Masnya: Oh, di situnya sana mas.
Saya: …
Masnya: Ya, agak ke belakang dikit.
Saya: Oh samping rumahnya Mas Taufik, ya?
Masnya: …
Saya: Namanya siapa, mas?
Masnya: Saddam
Saya: Saya Ali, mas.
Saddam: Masnya kuliah di MIPA, ya?
Saya: Oh, iya… Masnya kok tau?
Saddam: Saya juga di MIPA mas.
Saya: Oh…. angkatan berapa, mas?
Saddam: 2016
Saya: Oh… *sambil mikir, kok mukanya kelihatan sudah berwibawa sekali ya untuk seukuran Maba yang pada umumnya kelihatan polos dan cerah karena belum diracuni lika-liku perkuliahan. Tapi, bisa saja seperti ini, sih, untuk seukuran Maba*
Saddam: Masnya jurusan apa?
Ibu-ibu warung: Monggo mas *sambil memberi bungkusan pesanan saya*
Saya: Oh ya nuwun bu.
Geofisika, mas. 2012… Mas ikut PKM, gak? *sengaja menanyakan ini agar Maba tidak menyesal seperti saya karena masa-masa muda malah tidak tahu PKM*

Saddam: PKM, mas?
Saya: *Dalam hati: ini anak ‘gak tau PKM juga kali, ya*
Iya, mas.

Saddam: Saya kuliah di Kimia, mas.
Saya: *bingung dengan jawabannya*
Saddam: Kimia Pascasarjana
Saya: Oh… Hh
*Di sini saya dapatkan satu moral: jangan cepat menyimpulkan sesuatu jika belum dapat informasi yang lengkap*
Saddam: Sekarang lagi skripsi, ya?
Saya: Iya, mas. Insyaa Allah tinggal skripsi.
Saddam: Semoga dilancarkan mas. Hehehe…
Saya: Aamiin, mas. Asalnya darimana, mas?
Saddam: Sulawesi mas.
Saya: S1 nya dimana dulu mas?
Saddam: Halu Oleo mas
Saya: Oooohhh… *orang Sulawesi memang terkenal ganteng-ganteng dan cantik cantiknya*
Oke, yuk monggo mas.

Saddam: Yuk, mari..mari
Lalu kita berpisah.

Komentar