Langsung ke konten utama

Eat, Pray, and Love (Banyuwangi) I

“BTW, Bali itu dekat sama Banyuwangi, kan, ya?” kata Wahyu di Sekre KMFM. 
“Iya, bahkan nyebrang dari Banyuwangi ke Bali aja murah. Di bawah sepuluh ribuan lah,” Angga menimpali. Anak Banyuwangi asli ini tetap menjawab dengan bahasa diplomatis banget.

Mendengar percakapan dua anak manusia ini membuatku membayangkan keadaan Bali dan Banyuwangi dengan segala kabar keindahannya. Aku membenarkan posisiku yang sedang santai banget -tiduran. Keadaan sekre yang agak sempit ini membuat hati kami makin dekat #eaaa

“Yok, ke sana yok!” kataku.

“Ayoklah. No wacana!!!” Wahyu menimpali.

“Eh, wacana di kalangan mahasiswa cuma dua, Yu. ‘Besok pagi kita jogging, yuk’ dan ‘Mulai besok, aku diet! Yes!’. Banyuwangi mah bukan wacana,” kataku sambil memikirkan dua wacana yang kusebutkan tadi sudah terjadi padaku. Kamu mungkin juga. Iya, kamu.

*** 

Dua bulan kemudian….

 
***
 

Akhirnya saya melepaskan amanah yang berat ini. Yap. Musyawarah Besar Keluarga Muslim FMIPA UGM (Mubes KMFM UGM) baru saja sudah terlaksana. Di sanalah aku mempresentasikan LPJ-ku dan kawan-kawan seperjuangan, menandakan bahwa aku sudah ‘lengser’ dari jabatan ini.

“Eh, kalian jadi ke Banyuwangi?” tanya Isna di sela-sela istirihat Mubes.

Aku yang-sambil-memakan-ayam-goreng-yang-murahnya-membabibuta menoleh Wahyu. Aku melihat Wahyu yang-sambil-memakan-ayam-goreng-yang-murahnya-membabibuta  menoleh Angga yang-sambil-memakan-ayam-goreng-yang-murahnya-membabibuta. Angga yang-sambil-memakan-ayam-goreng-yang-murahnya-membabibuta menoleh Wahyu yang-sambil-memakan-ayam-goreng-yang-murahnya-membabibuta. Mata mereka bertemu. Wahyu melihat mata Angga. Angga melihat mata Wahyu. Mereka saling melepas senyum itu. Menjijikkan Menggelikan.

“Ayok, jadi!”

“Insyaa Allah”

Dan akhirnya, beberapa hari kemudian, berangkatlah kami ke Banyuwangi. Kami adalah Wahyu, Angga, Arif, Ali, Wawa. Menaiki kereta dengan antusias, berlari karena hampir terlambat, kami berangkat ke kota Banyuwangi, kotanya Angga.

Sampai di dalam gerbong 1, kami menaruh barang-barang kami di tempat barang-barang. Kami berlima terpisahkan oleh gang.

“Eh, Wahyu!” seseorang yang tak kukenal memanggil Wahyu. Aku melihat senyumnya sangat teduh. Aku takut. Takut suka. #NahLoh

“Mas Kamil!” Wahyu menyahut, balas memanggil sambil meletakkan tasnya di atas.

Aku melihat Wahyu bersalaman dengan orang yang belum kukenal. Wawa juga ikut menyalaminya. Sepertinya anak yang bernama Kamil itu adalah anak SM-IAGI, organisasinya Wahyu dan Wawa.

“Wah, ternyata kita satu gerbong ya. Bahkan satu kursi!” kata mas Kamil dengan senyum lembutnya.

“Hahaha… iya mas. Mungkin kita jodoh.” #NahLoh

Aku dan Arif duduk berseberangan dengan Wahyu dan Kesawa (tidak berhadapan). Sedangkan Angga, dia duduk jauh di belakang kami. Beli tiketnya gak barengan sih. Hahaha…

“Yu, kalo mbak itu tukeran tempat duduk dengan Angga yang di sana kira-kira mau, nggak, ya?” tanyaku pada Wahyu dengan berbisik sambil duduk. “Kan cuma mbak itu yang cewek di tempat duduk kalian.” Kasihan cewek sendiri.

Sejurus kemudian aku melihat Wahyu berbicara pelan dengan mbak itu. Kemudian, mbak itu  bangkit dari tempat duduknya.

“Aku titip tasnya boleh, mas?” Tanya mbak itu sambil berdiri, siap meninggalkan tempat duduknya.

“Oh, siap. Boleh, mbak,” jawab Wahyu.

“Kamu bilang apa, Yu?” tanyaku setelah mbak itu baru saja pergi.

“’Mbak teman kami ada di sana. Boleh tukeran tempat duduk dengan mbak?’” Wahyu mengulang dialognya tadi.

Angga pun akhirnya duduk bersama kami sampai Banyuwangi.

Di perjalanan, kami lebih banyak menghabiskan waktu di tempat makan. Alasannya sederhana. Selain untuk makan, tempat duduknya lebih leluasa. Walaupun sudah berjam-jam makanan kami habis, kami masih saja duduk di sana.

Ketika kereta sudah sampai Surabaya, aku merasa takjub. Baru kali itu aku melihat rel kereta di Indonesia ada di tengah jalan raya. Aku juga melihat daerah bencana Lumpur Lapindo Sidoarjo. Tapi, aku heran. Kenapa di Surabaya aku tidak melihat Bu Risma? Katanya Bu Risma walikota. Hufftt…

“Kalian mau bebek atau ayam?” Tanya Angga. Hari sudah sore.

“Bebek aja, Ngga,” jawabku dengan kalem. Zahirnya kalem, tapi dalam hati: “BEBEK, NGGA!!! BEBEK!!! DI MANA AKALKU JIKA AKU MENOLAK BEBEK GORENG YANG ENAKNYA SEMENA-MENA ITU!? BEBEK, WOY! BEBEK!”

Setelah lebih kurang 13 jam perjalanan dengan kereta (07.30-20.30), akhirnya kami berlima sampai di Rogojampi, salah satu kecamatan di Banyuwangi. Rogojampi adalah kecamatan tempat tinggalnya Angga.

Di luar stasiun, kami melihat keluarga Angga menyambut kedatangan kami. Kami pun menyalami ibu Angga dan memeluk ayah Angga.

“…..” kataku dalam hati.

Dari stasiun kami berangkat menuju rumah Angga yang tampan (sengaja bilang tampan karena bayangan bebek goreng) dengan menaiki mobil keluarga Angga. Sekitar 5 menit perjalanan, kami berhenti di tempat makan di pinggir jalan.

“Oh, jadi kita makan bebek goreng di sini?” aku bergumam dalam hati sambil menahan senyum yang hampir saja lepas tanpa alasan.

Dan akhirnya kita pun makan. Makan bebek goreng. Eh, bukan. Maksudnya makan bebek-goreng-gratis-yang-bisa-dimakan-sepuasnya-tanpa-khawatir-uang-jajan-bulanan-anak-kos-akan-habis-ataupun-berhutang-sama-teman-karena-uang-jajan-bulanan-telat-dikirim.*nah loh kok malah curhat*
 
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Angga yang biasa aja (bebek goreng sudah di perut, jadi nggak perlu jilat Angga dengan sebutan ‘Angga yang tampan’).

Sampai di rumah, kami disambut oleh banyak orang. Ternyata dalam satu gang rumah Angga itu adalah keluarganya Angga. Kau akan mendengar “Saya kakaknya ibu Angga” atau “Saya adiknya bapak Angga” atau “Saya masnya bapak Angga”, dll jika baru saja sampai di rumah Angga.


Takjub sendiri dengan keadaan seperti ini.
 
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi (biarin gak nyambung sama postingannya juga. Hehehe)

Komentar